Skip to main content

Pemerhati Lingkungan Babul Hairien Ingatkan DPRD Mukomuko Tak Tergesa-gesa Sahkan Raperda RTRW

Pemerhati Lingkungan Babul Hairien Ingatkan DPRD Mukomuko Tak Tergesa-gesa Sahkan Raperda RTRW

 

Mukomuko, Siberbengkulu.co – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Mukomuko tahun 2025–2045 menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerhati lingkungan.

Raperda tersebut dinilai belum mendesak untuk disahkan dan justru berpotensi merugikan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Kritik muncul setelah rapat paripurna DPRD Mukomuko pada Selasa (14/10) malam dengan agenda penetapan Raperda RTRW tidak mencapai kuorum karena hanya dihadiri 15 anggota dewan. Berdasarkan informasi yang diterima, rapat lanjutan pembahasan dijadwalkan berlangsung pada Rabu (15/10) dengan undangan yang ditandatangani oleh Wakil Ketua I DPRD Mukomuko, Damsir.

Pemerhati lingkungan asal Bengkulu, Babul Hairien, menilai pembahasan Raperda RTRW tersebut terkesan tergesa-gesa dan mengandung indikasi adanya kepentingan kelompok tertentu.

“Raperda ini terlihat terburu-buru. Ada dugaan kepentingan besar dari segelintir pengusaha atau pemodal yang ingin meloloskan aturan ini. Jangan sampai demi kepentingan investor, masyarakat Mukomuko justru menjadi korban,” ujar Babul Hairien, Rabu (15/10).

Ia menegaskan, pembukaan kran besar untuk sektor industri dan pertambangan dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap wilayah pertanian, terutama sentra persawahan yang selama ini menjadi penopang ketahanan pangan daerah.

“Kalau sampai Raperda ini disahkan menjadi Perda, maka akan sangat berbahaya bagi masa depan pertanian Mukomuko. Ini jelas bertolak belakang dengan visi-misi Bupati Choirul Huda yang ingin menjadikan Mukomuko sebagai lumbung pangan daerah,” tegasnya.

Babul juga mengingatkan agar pemerintah dan DPRD tidak hanya berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.

“Kalau memang ingin membuka kawasan industri atau pertambangan, seharusnya dilokalisir saja di satu atau dua kecamatan. Jangan dipukul rata. Jangan karena ingin mengejar PAD, masyarakat kecil justru yang dikorbankan,” tambahnya.

Ia menilai pembahasan Raperda RTRW ini harus dilakukan lebih mendalam dengan melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi, masyarakat, dan lembaga lingkungan.

“Perlu ada kajian sosial, analisis akademis, serta harmonisasi dengan peraturan di atasnya agar tidak tumpang tindih dan justru menimbulkan masalah baru,” tutup Babul Hairien. (JFS)

Baca juga ...